Slider

Hot News

'Rumput Hijau' Itu Kini Beralih ke Prancis

Bola Mania - Ada yang berbeda di bursa transfer musim panas menjelang musim kompetisi 2013/2014. Hingar-bingar megatransaksi pembelian pemain yang biasa riuh-rendah dari Inggris, Spanyol, dan Italia belum lagi terdengar. Kehebohan justru datang dari Prancis, negeri yang selama ini lebih dikenal sebagai "pengekspor" pemain.

Adalah Paris Saint Germain (PSG) yang menciptakan kehebohan itu. Rabu (17/7) lalu mereka memecahkan rekor transfer pemain di Ligue 1 setelah mendatangkan Edinson Cavani dengan nilai 64 juta euro dari Napoli. Striker asal Uruguay itu bakal membela PSG untuk lima tahun ke depan. Sebelumnya, rekor itu jadi milik Radamel Falcao saat AS Monaco memboyongnya dari Atletico Madrid dengan nilai mendekati €60 juta.

Secara keseluruhan, nilai transfer Cavani memang hanya berada di urutan keempat rekor dunia. Status pemain termahal masih dipegang bintang Real Madrid, Cristiano Ronaldo, sebesar €94 juta. Diikuti Zinedine Zidane (€75 juta) di urutan kedua dan kemudian Kaka (€67 juta).

Namun, bukan soal peringkatnya itu yang menarik perhatian publik. Pembelian Cavani tak hanya menjadikan skuat PSG semakin luar biasa. Maklum, sebelum ini pun mereka sudah punya bintang-bintang sekelas Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva, dan Javier Pastore yang membawa PSG ke perempat final Liga Champions musim 2012/2013.

Lebih dari itu, pembelian Cavani menunjukkan ambisi besar sekaligus kesungguhan PSG menjadikan dirinya salah satu klub paling elite di Eropa. Mereka tak puas hanya menjadi penguasa Ligue 1. Mereka juga ingin menguasai Eropa, bersaing dengan para jagoan lama semacam Bayern Muenchen, Barcelona, Madrid, Manchester United (MU), Chelsea, atau Juventus.

Seperti mengikuti hukum alam, gebrakan PSG yang dimodali Qatar Investment Authority itu segera mengundang reaksi para rivalnya. Klub promosi AS Monaco, dengan pasokan dana berlimpah dari miliuner Dmitry Rybolovlev, membuat gebrakan serupa. Begitu kembali ke Ligue 1, mereka langsung memborong sederet pemain bintang, dari Joao Moutinho, James Rodríguez, Ricardo Carvalho, hingga Falcao.

Kecenderungan ini, saya kira, tak akan berhenti sampai di sini. Prancis bukan hanya Paris dan Monaco, di sana juga ada klub-klub besar lainnya, seperti Marseille, Lyon, dan Bordeaux. Hanya soal waktu bagi klub-klub dengan tradisi panjang itu sebelum akhirnya mengikuti jejak PSG dan Monaco: menggandeng investor baru bermodal kuat, kemudian belanja pemain besar-besaran untuk meningkatkan daya saing.

Ini memang fenomena baru bagi Prancis. Tapi bukan berarti tak ada presedennya. Sebelum itu, fenomena serupa telah terjadi di Inggris. Antara lain, dimotori oleh Chelsea pada 2003 dengan menggandeng Roman Abramovich yang menggelontorkan 240 juta pounds pada musim pertamanya. Dukungan dana Abramovich itulah yang kemudian mengubah Chelsea jadi kekuatan besar, bahkan sanggup menjuarai Liga Champions 2011/2012.

Pola Chelsea kemudian menginspirasi banyak tim besar lain di Inggris untuk ikut membuka diri kepada investor kakap. MU dikuasai keluarga Glazer sejak 2005, sedangkan Arsenal menggandeng Stan Kroenke pada 2007. Liverpool kemudian juga jatuh ke tangan miliarder Amerika, George Gillett dan Tom Hicks, pada 2007. Paling akhir, Manchester City jadi klub kaya baru sejak masuknya Abu Dhabi United Group Investment and Development Limited pada 2008.

Pola kemitraan dengan para investor kakap itu terbukti mampu mengubah wajah Liga Primer Inggris. Mereka tak lagi inferior terhadap Madrid, Barcelona, atau AC Milan saat memasuki bursa transfer musim panas. Rekor pembelian termahal memang masih didominasi Madrid, namun sejumlah pemain top dunia sekelas. Didier Drogba, Lukas Podolski, Robinho, hingga Luis Suarez tak lagi sungkan datang ke Inggris.



Hasilnya, tak butuh waktu lama, Liga Inggris berkembang jadi kompetisi paling atraktif sejagat. Persaingan ketatnya yang melibatkan 5-7 klub dalam perebutan gelar juara dan jatah tiket Liga Champions dari musim ke musim selalu menarik untuk diikuti. Fan base suporternya pun terus tumbuh pesat dan pada akhirnya mampu melewati popularitas klub-klub Italia dan Spanyol.

Kepingan kisah sukses itu kemudian menjadi lengkap setelah klub-klub Inggris bergantian memetik sukses pula di lapangan hijau. Liverpool menjuarai Liga Champions 2004/2005, MU kembali juara pada musim 2007/2008, lalu giliran Chelsea jadi kampiun musim 2011/2012.

Fenomena sukses Inggris mungkin belum berakhir sampai di sini. Apalagi masih ada City dan Tottenham Hotspur yang haus gelar dan punya kekuatan mesin uang sangat besar.

Hanya saja, dari sudut pandang bisnis, berinvestasi di klub-klub Inggris dipandang tak lagi menggiurkan. Potensi pasarnya bisa dibilang sudah sangat terekspos dan tereksploitasi secara optimal. Pasar Inggris sepertinya mulai mendekati titik jenuh. Hal itu, antara lain, tercermin dari besarnya antusiasme klub-klub Inggris melirik pasar baru dengan melebarkan sayap ke Asia dan Timur Jauh.

Di sisi lain, di luar sana, sederet milyuner kaya masih menanti kesempatan untuk ikut menceburkan diri dalam bisnis global ini. Tidak hanya dari negara-negara Arab, tapi juga para konglomerat baru yang bermunculan di Rusia sejak negeri itu perlahan-lahan menganut sistem ekonomi yang lebih liberal.

Maka, jadilah Prancis "padang impian" baru. Qatar Investment Authority yang memutar uang keluarga Sheik Hamad bin Jassem bin Jabr Al Thani yang konon mencapai 60 miliar dolar AS telah memulai petualangan itu. Milyuner sekaligus filantrofis Rusia, Dmitry Rybolovlev, kemudian ikut menceburkan diri dengan menguasai 66 persen saham Monaco.

Keberhasilan PSG menjuarai Ligue 1 dan nyaris menembus semifinal Liga Champions musim lalu niscaya semakin menguatkan minat para miliarder Arab dan Rusia untuk ikut "menghijaukan" rumput Liga Prancis. Jangan kaget jika klub-klub semacam Marseille, Lyon, Bordeaux, atau Montpellier jadi sasaran berikutnya.

Mungkin terlalu pagi untuk memprediksinya, namun jika fenomena ini terus berlanjut akan bagus dampaknya bagi sepakbola. Munculnya Prancis sebagai kutub baru akan memperluas persebaran kekuatan dan peta persaingan di Eropa. Persaingan pun akan lebih sengit dan idola-idola baru akan muncul. Wajah sepakbola Eropa akan berubah. | Detik



====

* Akun twitter: @MohamadKusnaeni

Sepakbola, Sebuah Jalan Pulang ke 'Rumah' yang Lebih Indah

Bola Mania - Beberapa bulan lalu tugas menjalankan peliputan ke Piala Dunia 2014 di Brasil saya dapatkan. Sekian bulan kemudian saya kembali menjadi saksi dari sebuah gelaran pesta sepakbola antarnegara se-dunia, sebuah Piala Dunia yang berbeda: Homeless World Cup 2014.

Menyimak namanya--Homeless World Cup--niscaya akan timbul kesan aneh nan meremehkan. Toh, istilah Homeless memang berarti seseorang yang tidak memiliki rumah, acapkali dilabeli sebagai gelandangan atau sejenisnya yang lain. Wajar saja jika akan ada yang bertanya-tanya apa pula pentingnya pertandingan "para Homeless" ini sampai-sampai turnamen mereka punya hak untuk dilabeli "Piala Dunia".

Pada dasarnya, perhelatan Homeless World Cup memang sebuah ajang multinegara--tahun ini mencapai 42 negara, dengan total 54 tim baik putra maupun putri. Maka tak keliru pula jika gelaran ini disebut sebagai sebuah Piala Dunia.

Memang ada perbedaan besar dari FIFA World Cup yang dikenal orang banyak, dilangsungkan empat tahunan dan melibatkan nama-nama top, dengan Homeless World Cup yang pada tahun 2014 dilangsungkan di Santiago, Chile -- Piala Dunia "Homeless" ini merupakan pesta sepakbola untuk kalangan termarjinalkan, dengan pemain-pemain yang bisa dikatakan sebagai orang yang sedang terpinggirkan. Istilah "Homeless" di ajang ini memang tak lagi semata mengacu ke orang-orang yang tak memiliki rumah secara fisik, melainkan "rumah" dalam artian lebih luas. Entah itu karena sedang tak punya tempat untuk bersandar, terpinggirkan secara sosial dan ekonomi, atau lain sebagainya.

Maka tiap negara di ajang HWC ini pun mengusung sejumlah isu. Tim Indonesia, misalnya, yang berisikan pemain ODHA (pengidap HIV/AIDS), mantan pecandu narkoba, dan masyarakat miskin kota. Di sinilah kemudian lahir makna. Mereka bukan dijadikan sosok yang mesti dijauhi apalagi dimusuhi, melainkan manusia-manusia yang perlu dirangkul dan diberi kesempatan untuk melakukan perubahan dan perbaikan.


Walhasil, kendatipun Piala Dunia di Brasil lalu memang saya rasakan benar gemebyar, tetapi tetap ada perasaan berjarak. Boleh jadi karena yang berkecimpung di sana adalah tokoh-tokoh yang aksinya di lapangan kadung terasa amat luar biasa. Ada perasaan bahwa mereka, yang biasanya cuma disaksikan di layar kaca, sudah menjelma seperti dewa-dewa yang sulit tersentuh dan amat jauh.

Sebaliknya, Piala Dunia di Santiago ini sama sekali tak terasa berjarak. Yang tampil di dalamnya adalah sosok-sosok dengan segala kemanusiawiannya, sebagaimana biasa disaksikan dan ditemukan di sekeliling kita setiap harinya. Mereka semua berbaur di pesta sepakbola yang satu ini tanpa sekat, tanpa batas. Berformat turnamen, orang-orang yang kebetulan punya masa lalu atau latar belakang kelam pun diajarkan untuk kembali punya kepercayaan diri, senantiasa bekerja keras, dan berdisiplin dalam upaya meraih prestasi terlepas dari kendala-kendala yang mereka hadapi. Mereka yang termarjinalkan ini benar-benar diberi kans untuk bangkit, kembali "hidup" lagi, juga mendulang pengalaman banyak-banyak untuk bekal kehidupan selanjutnya. Inilah sepakbola tanpa stigma yang kian tak biasa karena disarati unsur nasionalisme tersendiri; mengusung nama Tanah Air tercinta di hadapan puluhan negara-negara peserta lainnya.

Stephan Birrer (36 tahun) pemain dari Swiss, menuturkan bahwa ia dan saudaranya dulu memutuskan untuk tidak ingin bekerja seperti orang lain karena melihat orangtuanya yang sudah bekerja keras dan tampak tak bahagia. Ia pun menjalani gaya hidup berbeda: di jalanan, meminta-minta, banyak minum alkohol, dan mengakrabi ganja.

Setelah beberapa tahun, ia dan saudaranya tak lagi betah dengan gaya hidup tersebut. Stephan dan saudaranya itu lalu mulai menjadi loper koran, menyeriusi sepakbola, sampai akhirnya mengikuti HWC 2014 yang disebutnya sebagai sebuah kesempatan langka. "Ini sangat menyenangkan dan sebuah pengalaman yang indah," ucapnya.

Kisah lain dituturkan oleh Alexandros (44 tahun), pemain dari Yunani yang terlihat lebih tua dari usianya. Akibat putus dengan pacarnya, Alexandros sekaligus kehilangan tempat tinggal sehingga harus hidup menumpang dengan saudara perempuannya. Selama tiga tahun ia sempat menganggur sebelum akhirnya mulai menjadi loper koran. Lambat laun ia pun mulai menata hidup. "Ini (HWC) merupakan pengalaman fantastis buatku, unik, pelajaran untuk seumur hidup, setiap hari jumpa orang dari budaya-budaya berbeda. Kami tertawa dan berbagi banyak hal tentang kehidupan kami, dan ini sangatlah fantastis," ujarnya.

"Di sini ia sudah menjadi orang yang sangat berbeda," sambung manajer tim Yunani.

Semua Bisa Menang dan Jadi Juara

Sehubungan dengan makna, para peserta Homeless World Cup tidaklah cuma mengejar piala. Dengan pesan utama bahwa semua adalah pemenang, seluruh pemain yang tampil pun lantas berkesempatan jadi juara: di dalam kehidupan nyata. Pembuktiannya nanti tentu apakah mereka akan bisa memaksimalkan kesempatan yang sudah didapatkan, dan membawa motivasi, semangat perubahan, dan modal sosial selama perjalanannya untuk membuat hidup mereka jadi lebih baik.

"Homeless World Cup untuk mengubah orang, untuk jadi orang. Belajar disiplin, konsentrasi. Pulang dari sini kalian harus jadi orang. Kompetisi ini harus dijadikan pelajaran buat kalian. Jangan terus-terusan berada di tempat gelap, nanti kalian harus maju ke tempat yang terang. Begitu menginjakkan kaki di Indonesia, kalian harus sudah tahu apa yang mesti dilakukan untuk ke depannya. Ini semua pengalaman, saya dulu juga begitu, sangat indah buat saya," kata Pelatih Indonesia Bonsu Hasibuan yang juga merupakan mantan pemain HWC 2012 di Meksiko.


Bonsu, yang kini eksis di dunia futsal Indonesia sebagai pelatih, adalah salah satu wajah sukses alumnus HWC di Indonesia. Dikatakan Manajer Tim Febby Arhemsyah, Bonsu tidak sendirian. Sebut saja misalnya nama Andri Kustiawan dan Sandi Gempur, yang masih aktif bermain futsal dan sudah menembus tim nasional futsal Indonesia. Ada pula Arif "Toun" Apriadi yang dulu ikut serta di HWC 2012 sampai mesti membawa beberapa botol methadone--obat pengganti yang biasa digunakan dalam rangka pengurangan ketergantungan pada narkoba. "Satu bulan sebelum roadshow (HWC 2014) ia menelepon dan mengabari kini sedang menggeluti bisnis konveksi," tutur Febby.

Maka berbeda pula dengan FIFA World Cup di Brasil lalu, di mana pemenangnya cuma satu, saya melihat betapa Homeless World Cup benar-benar memberi kesempatan untuk melahirkan banyak pemenang: mereka semua bisa jadi juara yang sebenar-benarnya asalkan sepulangnya nanti mampu lebih baik menjalani kehidupannya. Untuk itu saya merasa HWC sungguh sudah menjadi sebuah pesta istimewa nan luar biasa. Sepakbola barangkali merupakan sebuah jalan untuk pulang ke 'rumah' yang lebih indah. | Detik


===

* Penulis adalah wartawan detiksport yang mengiringi perjuangan timnas Indonesia di Homeless World 2014 di Santiago, Chile. Akun twitter: @kr1sf

* Respek setinggi-tingginya untuk @rumahcemara

Efek Video Game pada Sepakbola

Bola Mania - Video game sering dilihat sebagai distraksi dan perusak generasi oleh komunitas masyarakat negara kita. Sejalan dengan opini tersebut, publik dunia juga masih menganggap video game sebagai media superfisial dengan tingkat signifikansi dan substansi yang dangkal.

Namun, ada argumen lain yang menyatakan bahwa video game adalah bagian dari kesenian dan kreativitas, yang tentunya memiliki signifikansi dan substansi yang mendalam. Video game berkali-kali telah mempengaruhi terbentuknya komunitas-komunitas dengan kesamaan hobi atau ketertarikan sehingga menjadi media yang mentransfer nilai-nilai positif dari keraguan yang muncul pada opini pembuka di atas.

Video game seperti Word of Warcraft, DotA, Counter-Strike, maupun judul-judul lainnya telah membentuk komunitas tersendiri di dunia yang sudah serba digital ini.

Salah satu yang berkaitan dengan sepakbola tentunya adalah video game FIFA, yang telah menjadi pemicu bagi masyarakat untuk berbagi ketertarikan, entah pada video game maupun sepakbola itu sendiri.

Video game FIFA telah melakukan rilis resmi versi terbaru mereka, yaitu FIFA 15, akhir bulan lalu untuk berbagai macam konsol (PlayStation, Xbox, dan PC).

Dalam video game FIFA ini misalnya sudah berjalan berdampingan bersama dunia sepakbola itu sendiri dan mendorong para gamer untuk mencari tahu hal-hal yang berbau sepakbola. Seperti menonton pertandingan, menyimak berita, dan bahkan melakukan studi dan riset untuk sepakbola. Sebuah hal positif yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh generasi sebelumnya.

Video Game FIFA sebagai Media Pemasaran

Sebuah studi oleh Dae Hee Kwak, PhD dan kawan-kawannya dari University of Michigan menunjukkan bahwa 53,2% pemain video game FIFA adalah remaja dengan rentang usia 18 sampai 24 tahun.

Dari 459 sampel yang mereka ambil dari Amerika Serikat (AS) saja, sebanyak 54,2% di antara pemain FIFA adalah remaja yang setidaknya sudah lulus kuliah (bergelar sarjana), sehingga menimbulkan opini publik bahwa video game tidak terlalu berpengaruh buruk pada prestasi siswa/mahasiswa mereka.






Tidak heran, akhir pekan di AS memang selalu digunakan masyarakatnya sebagai waktu yang berhubungan dengan olahraga, entah menonton pertandingan, memainkan pertandingan, maupun bermain video game olahraga.
Selain melakukan olahraga itu sendiri, mereka selalu mencari sports bar, berkumpul di salah satu tempat teman, maupun mencari layar terbesar yang bisa mereka temukan untuk menonton atau bermain video game olahraga.

Riset Hee Kwak di atas didukung analisis Rich Luker dari ESPN Sports Poll. Ia menunjukkan bahwa sepakbola adalah olahraga favorit ke dua masyarakat AS yang berusia 18 sampai 24 tahun.

Beberapa tahun terakhir ini, popularitas sepakbola ("soccer", bukan "football") memang semakin meningkat berkat dua hal, yaitu tontonan sepakbola (terutama Piala Dunia) dan tentu saja topik bahasan kali ini, video game sepakbola, tepatnya adalah FIFA.

Game franchise dari Electronic Arts (EA) ini sudah menjadi faktor krusial yang menjadi fondasi bagi sepakbola untuk tumbuh dan berkembang di dunia pemasaran AS.

Penjualan FIFA sudah meraih 100 juta kopi sejak tahun 1993, dengan FIFA 15 diperkirakan akan menyentuh penjualan sebesar 11,3 juta kopi di seluruh dunia. Tapi ingat, ini tidak termasuk video game bajakan yang biasa masyarakat Indonesia umumnya nikmati.

Bermain sepakbola dan video game memang merupakan dua kegiatan yang saling berhubungan (mutualisme) di AS. Dalam satu dekade terakhir saja, sepakbola sudah menjadi olahraga favorit bagi orang tua untuk menyuruh anak mereka berkegiatan di dalamnya, sementara video game adalah cara yang digunakan oleh masyarakat AS untuk “escape from reality”. Jadi bisa dipahami bahwa kombinasi dari keduanya, yaitu video game sepakbola, menjadi formula yang bonafid.

Efek Popularitas untuk Sepakbola Eropa

Salah satu studi yang dilakukan oleh Matt Darlow juga menunjukkan bahwa video game simulasi olahraga adalah jenis video game yang paling menjadi favorit dari masyarakat AS.

Menurutnya, sebelum video game sepakbola marak di AS, sepakbola sering dipandang sebagai olahraga yang membosankan dengan "hanya mengoper bola ke seluruh lapangan, dengan skor yang kecil, dan pemain-pemainnya sering terjatuh dan melakukan protes".

Hee Kwak juga menunjukkan bahwa salah satu fitur yang paling menarik dari video game sepakbola adalah kualitas grafik, gameplay, dan juga tentunya adalah terbentuknya komunitas-komunitas baru, bukan saja bagi AS, tapi juga bagi seluruh dunia.

Serupa dengan kisah Darlow di atas, Roger Bennett, salah satu blogger ESPNFC, menunjukkan efek dari video game FIFA kepada fans olahraga lainnya.

Dalam artikelnya, Bennett menjelaskan bahwa sepakbola telah menjelma menjadi “olahraga komunis” dengan waktu bermain online para pemainnya bisa mencapai angka lebih dari sembilan jam per pekan.

"Video game telah menjelma menjadi kehidupan nyata. Kampus kami (University of Alabama) telah dibanjiri oleh para pemain FIFA, bahkan mereka sudah terang-terangan memakai seragam tim yang mereka bela," katanya.



"Revolusi ini tentunya mengacu juga pada fitur lainnya di FIFA, yaitu Support Your Club," lanjutnya. 'Support Your Club' adalah fitur yang memungkinkan bisa memilih tim favorit untuk menunjukkan "identitas utama" kita pada video game tersebut.

Kemudian berdasarkan banyaknya pemain dan tingkat kemenangan klub tersebut di FIFA, ini bisa menciptakan klasemen tersendiri yang membuat klub yang sudah kita pilih berada pada peringkat tertentu di seluruh dunia. Naik dan turunnya peringkat klub pada 'Support Your Club' sepenuhnya berdasarkan pada pemain FIFA itu sendiri.

FC Barcelona dan Manchester United adalah dua klub yang sering dipilih oleh masyarakat AS sebagai tim 'Support Your Club' mereka.

Jadi klub-klub di Eropa harus berterimkasih kepada FIFA, popularitas mereka telah naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Fanbase yang tumbuh ini lah yang meningkatkan kesempatan untuk klub melakukan pemasaran dengan serangkaian tur ke AS, hak siar televisi, maupun dari periklanan.

Awal musim ini saja, selain tur terpisah, kita bisa melihat ajang resmi International Champions Cup dan MLS All-Stars Game yang sudah digelar di Negeri Paman Sam itu. Tidak mau kalah, dua kejuaraan di atas bisa kita saksikan lagi tahun depan.

Dalam kenyataannya, FIFA tidaklah selalu menjadi "mega hit". Pro Evolution Soccer (PES) dari Konami selalu membuntuti mereka di belakang. Bahkan selama awal tahun 2000-an sampai 2007, PES sempat mendominasi pasar video game sepakbola di dunia, sebelum pada 2008 mereka melakukan desain ulang yang terbukti menjadi awal dari terpuruknya PES.

Keterpurukan PES ini juga bisa dipahami lebih lanjut karena FIFA merupakan "video game resmi" (secara tidak langsung). Mereka memiliki lisensi resmi dari hampir seluruh tim top di dunia.

Pada FIFA (kembali kami ingatkan, bukan versi bajakan tentunya) juga kita bisa mendapatkan update yang berkaitan dengan pemain (kepindahan, performa, dll) setiap pekannya. "Update pada FIFA adalah sesuai dengan kenyataan, jadi apa yang Anda saksikan di televisi adalah apa yang juga Anda saksikan pada video game," kata Nick Channon, produser game di EA.

Efek Video Game pada Permainan

Jika kita sudah mengetahui efek video game pada komunitas dan popularitas sepakbola, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah: Apakah ada efek positif dari video game untuk permainan sepakbola itu sendiri?

FourFourTwo Performance sempat membahas bahwa video game ternyata memiliki efek positif pada permainan sepakbola (di atas lapangan sungguhan). FIFA (FIFA yang sesungguhnya) telah melakukan survei kepada lebih dari 10.000 gamer, 58% di antara mereka berpendapat bahwa kemampuan virtual yang mereka pelajari pada video game FIFA telah meningkatkan permainan mereka juga di atas lapangan.

Hubungan antara kemampuan jemari Anda menari di atas joystick dengan performa di atas lapangan ternyata bisa berbagai macam. Sebuah riset dari Queen Mary University di London menunjukkan bahwa video game dapat meningkatkan kemampuan otak.

Riset ini berkata bahwa gamer yang sering memainkan jenis video game strategi militer seperti StarCraft, Age of Empires, atau Dota, adalah mereka yang memiliki kemampuan memutuskan (decision-making), kreativitas, dan cara berpikir lateral yang baik.

"Riset ini juga menunjukkan bahwa video game real-time strategy (RTS) dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara menyeluruh, sikap antisipatif, dan belajar dari kesalahan yang sudah terjadi," seperti yang dijelaskan oleh Dr. Brian Glass sebagai pemimpin riset.

Itu berarti sekedar peregangan jemari Anda pada PlayStation, Xbox, atau PC dapat membuat Anda memilih jalur operan yang tepat, mengetahui kapan saat yang tepat untuk berlari, atau mengetahui timing yang tepat dalam meluncurkan tekel yang berisiko di kotak penalti.

Sekarang Anda memiliki alasan yang sah untuk bermain video game dan terus mengasah jari-jemari Anda dengan cara yang, yeah... bisalah dibilang positif. | Detik
====

*Penulis biasa menulis untuk @panditfootball dan About The Game, beredar di dunia maya dengan akun @DexGlenniza

Ini Susuna Pemain Kolombia Vs Pantai Gading

Bola Mania - Kolombia akan melakoni partai kedua babak grup Piala Dunia Brasil 2014 melawan Pantai Gading di Estadio Nacional de Brasilia. Pada partai pertama Kolombia menang 3-0 atas Yunani. bPantai Gading juga menang kala menekuk Jepang dengan skor 2-1 di pertandingan pertmana babak grup.

Berikut Susunan Pemain

Kolombia: 1-David Ospina, 2-Cristian Zapata, 3-Mario Yepes, 7-Pablo Armero, 18-Juan Zuniga; 6-Carlos Sanchez, 8-Abel Aguilar, 10-James Rodriguez, 11-Juan Cuadrado, 14-Victor Ibarbo; 9-Teofilo Gutierrez

Pantai Gading: 1-Boubacar Barry; 3-Arthur Boka, 5-Didier Zokora, 17-Serge Aurier, 22-Souleymane Bamba; 9-Ismael Tioté, 10-Gervinho, 15-Max Gradel, 19-Yaya Touré, 20-Serey Die; 12-Wilfried Bony