Sepakbola, Sebuah Jalan Pulang ke 'Rumah' yang Lebih Indah

Bola Mania - Beberapa bulan lalu tugas menjalankan peliputan ke Piala Dunia 2014 di Brasil saya dapatkan. Sekian bulan kemudian saya kembali menjadi saksi dari sebuah gelaran pesta sepakbola antarnegara se-dunia, sebuah Piala Dunia yang berbeda: Homeless World Cup 2014.

Menyimak namanya--Homeless World Cup--niscaya akan timbul kesan aneh nan meremehkan. Toh, istilah Homeless memang berarti seseorang yang tidak memiliki rumah, acapkali dilabeli sebagai gelandangan atau sejenisnya yang lain. Wajar saja jika akan ada yang bertanya-tanya apa pula pentingnya pertandingan "para Homeless" ini sampai-sampai turnamen mereka punya hak untuk dilabeli "Piala Dunia".

Pada dasarnya, perhelatan Homeless World Cup memang sebuah ajang multinegara--tahun ini mencapai 42 negara, dengan total 54 tim baik putra maupun putri. Maka tak keliru pula jika gelaran ini disebut sebagai sebuah Piala Dunia.

Memang ada perbedaan besar dari FIFA World Cup yang dikenal orang banyak, dilangsungkan empat tahunan dan melibatkan nama-nama top, dengan Homeless World Cup yang pada tahun 2014 dilangsungkan di Santiago, Chile -- Piala Dunia "Homeless" ini merupakan pesta sepakbola untuk kalangan termarjinalkan, dengan pemain-pemain yang bisa dikatakan sebagai orang yang sedang terpinggirkan. Istilah "Homeless" di ajang ini memang tak lagi semata mengacu ke orang-orang yang tak memiliki rumah secara fisik, melainkan "rumah" dalam artian lebih luas. Entah itu karena sedang tak punya tempat untuk bersandar, terpinggirkan secara sosial dan ekonomi, atau lain sebagainya.

Maka tiap negara di ajang HWC ini pun mengusung sejumlah isu. Tim Indonesia, misalnya, yang berisikan pemain ODHA (pengidap HIV/AIDS), mantan pecandu narkoba, dan masyarakat miskin kota. Di sinilah kemudian lahir makna. Mereka bukan dijadikan sosok yang mesti dijauhi apalagi dimusuhi, melainkan manusia-manusia yang perlu dirangkul dan diberi kesempatan untuk melakukan perubahan dan perbaikan.


Walhasil, kendatipun Piala Dunia di Brasil lalu memang saya rasakan benar gemebyar, tetapi tetap ada perasaan berjarak. Boleh jadi karena yang berkecimpung di sana adalah tokoh-tokoh yang aksinya di lapangan kadung terasa amat luar biasa. Ada perasaan bahwa mereka, yang biasanya cuma disaksikan di layar kaca, sudah menjelma seperti dewa-dewa yang sulit tersentuh dan amat jauh.

Sebaliknya, Piala Dunia di Santiago ini sama sekali tak terasa berjarak. Yang tampil di dalamnya adalah sosok-sosok dengan segala kemanusiawiannya, sebagaimana biasa disaksikan dan ditemukan di sekeliling kita setiap harinya. Mereka semua berbaur di pesta sepakbola yang satu ini tanpa sekat, tanpa batas. Berformat turnamen, orang-orang yang kebetulan punya masa lalu atau latar belakang kelam pun diajarkan untuk kembali punya kepercayaan diri, senantiasa bekerja keras, dan berdisiplin dalam upaya meraih prestasi terlepas dari kendala-kendala yang mereka hadapi. Mereka yang termarjinalkan ini benar-benar diberi kans untuk bangkit, kembali "hidup" lagi, juga mendulang pengalaman banyak-banyak untuk bekal kehidupan selanjutnya. Inilah sepakbola tanpa stigma yang kian tak biasa karena disarati unsur nasionalisme tersendiri; mengusung nama Tanah Air tercinta di hadapan puluhan negara-negara peserta lainnya.

Stephan Birrer (36 tahun) pemain dari Swiss, menuturkan bahwa ia dan saudaranya dulu memutuskan untuk tidak ingin bekerja seperti orang lain karena melihat orangtuanya yang sudah bekerja keras dan tampak tak bahagia. Ia pun menjalani gaya hidup berbeda: di jalanan, meminta-minta, banyak minum alkohol, dan mengakrabi ganja.

Setelah beberapa tahun, ia dan saudaranya tak lagi betah dengan gaya hidup tersebut. Stephan dan saudaranya itu lalu mulai menjadi loper koran, menyeriusi sepakbola, sampai akhirnya mengikuti HWC 2014 yang disebutnya sebagai sebuah kesempatan langka. "Ini sangat menyenangkan dan sebuah pengalaman yang indah," ucapnya.

Kisah lain dituturkan oleh Alexandros (44 tahun), pemain dari Yunani yang terlihat lebih tua dari usianya. Akibat putus dengan pacarnya, Alexandros sekaligus kehilangan tempat tinggal sehingga harus hidup menumpang dengan saudara perempuannya. Selama tiga tahun ia sempat menganggur sebelum akhirnya mulai menjadi loper koran. Lambat laun ia pun mulai menata hidup. "Ini (HWC) merupakan pengalaman fantastis buatku, unik, pelajaran untuk seumur hidup, setiap hari jumpa orang dari budaya-budaya berbeda. Kami tertawa dan berbagi banyak hal tentang kehidupan kami, dan ini sangatlah fantastis," ujarnya.

"Di sini ia sudah menjadi orang yang sangat berbeda," sambung manajer tim Yunani.

Semua Bisa Menang dan Jadi Juara

Sehubungan dengan makna, para peserta Homeless World Cup tidaklah cuma mengejar piala. Dengan pesan utama bahwa semua adalah pemenang, seluruh pemain yang tampil pun lantas berkesempatan jadi juara: di dalam kehidupan nyata. Pembuktiannya nanti tentu apakah mereka akan bisa memaksimalkan kesempatan yang sudah didapatkan, dan membawa motivasi, semangat perubahan, dan modal sosial selama perjalanannya untuk membuat hidup mereka jadi lebih baik.

"Homeless World Cup untuk mengubah orang, untuk jadi orang. Belajar disiplin, konsentrasi. Pulang dari sini kalian harus jadi orang. Kompetisi ini harus dijadikan pelajaran buat kalian. Jangan terus-terusan berada di tempat gelap, nanti kalian harus maju ke tempat yang terang. Begitu menginjakkan kaki di Indonesia, kalian harus sudah tahu apa yang mesti dilakukan untuk ke depannya. Ini semua pengalaman, saya dulu juga begitu, sangat indah buat saya," kata Pelatih Indonesia Bonsu Hasibuan yang juga merupakan mantan pemain HWC 2012 di Meksiko.


Bonsu, yang kini eksis di dunia futsal Indonesia sebagai pelatih, adalah salah satu wajah sukses alumnus HWC di Indonesia. Dikatakan Manajer Tim Febby Arhemsyah, Bonsu tidak sendirian. Sebut saja misalnya nama Andri Kustiawan dan Sandi Gempur, yang masih aktif bermain futsal dan sudah menembus tim nasional futsal Indonesia. Ada pula Arif "Toun" Apriadi yang dulu ikut serta di HWC 2012 sampai mesti membawa beberapa botol methadone--obat pengganti yang biasa digunakan dalam rangka pengurangan ketergantungan pada narkoba. "Satu bulan sebelum roadshow (HWC 2014) ia menelepon dan mengabari kini sedang menggeluti bisnis konveksi," tutur Febby.

Maka berbeda pula dengan FIFA World Cup di Brasil lalu, di mana pemenangnya cuma satu, saya melihat betapa Homeless World Cup benar-benar memberi kesempatan untuk melahirkan banyak pemenang: mereka semua bisa jadi juara yang sebenar-benarnya asalkan sepulangnya nanti mampu lebih baik menjalani kehidupannya. Untuk itu saya merasa HWC sungguh sudah menjadi sebuah pesta istimewa nan luar biasa. Sepakbola barangkali merupakan sebuah jalan untuk pulang ke 'rumah' yang lebih indah. | Detik


===

* Penulis adalah wartawan detiksport yang mengiringi perjuangan timnas Indonesia di Homeless World 2014 di Santiago, Chile. Akun twitter: @kr1sf

* Respek setinggi-tingginya untuk @rumahcemara