'Rumput Hijau' Itu Kini Beralih ke Prancis

Bola Mania - Ada yang berbeda di bursa transfer musim panas menjelang musim kompetisi 2013/2014. Hingar-bingar megatransaksi pembelian pemain yang biasa riuh-rendah dari Inggris, Spanyol, dan Italia belum lagi terdengar. Kehebohan justru datang dari Prancis, negeri yang selama ini lebih dikenal sebagai "pengekspor" pemain.

Adalah Paris Saint Germain (PSG) yang menciptakan kehebohan itu. Rabu (17/7) lalu mereka memecahkan rekor transfer pemain di Ligue 1 setelah mendatangkan Edinson Cavani dengan nilai 64 juta euro dari Napoli. Striker asal Uruguay itu bakal membela PSG untuk lima tahun ke depan. Sebelumnya, rekor itu jadi milik Radamel Falcao saat AS Monaco memboyongnya dari Atletico Madrid dengan nilai mendekati €60 juta.

Secara keseluruhan, nilai transfer Cavani memang hanya berada di urutan keempat rekor dunia. Status pemain termahal masih dipegang bintang Real Madrid, Cristiano Ronaldo, sebesar €94 juta. Diikuti Zinedine Zidane (€75 juta) di urutan kedua dan kemudian Kaka (€67 juta).

Namun, bukan soal peringkatnya itu yang menarik perhatian publik. Pembelian Cavani tak hanya menjadikan skuat PSG semakin luar biasa. Maklum, sebelum ini pun mereka sudah punya bintang-bintang sekelas Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva, dan Javier Pastore yang membawa PSG ke perempat final Liga Champions musim 2012/2013.

Lebih dari itu, pembelian Cavani menunjukkan ambisi besar sekaligus kesungguhan PSG menjadikan dirinya salah satu klub paling elite di Eropa. Mereka tak puas hanya menjadi penguasa Ligue 1. Mereka juga ingin menguasai Eropa, bersaing dengan para jagoan lama semacam Bayern Muenchen, Barcelona, Madrid, Manchester United (MU), Chelsea, atau Juventus.

Seperti mengikuti hukum alam, gebrakan PSG yang dimodali Qatar Investment Authority itu segera mengundang reaksi para rivalnya. Klub promosi AS Monaco, dengan pasokan dana berlimpah dari miliuner Dmitry Rybolovlev, membuat gebrakan serupa. Begitu kembali ke Ligue 1, mereka langsung memborong sederet pemain bintang, dari Joao Moutinho, James Rodríguez, Ricardo Carvalho, hingga Falcao.

Kecenderungan ini, saya kira, tak akan berhenti sampai di sini. Prancis bukan hanya Paris dan Monaco, di sana juga ada klub-klub besar lainnya, seperti Marseille, Lyon, dan Bordeaux. Hanya soal waktu bagi klub-klub dengan tradisi panjang itu sebelum akhirnya mengikuti jejak PSG dan Monaco: menggandeng investor baru bermodal kuat, kemudian belanja pemain besar-besaran untuk meningkatkan daya saing.

Ini memang fenomena baru bagi Prancis. Tapi bukan berarti tak ada presedennya. Sebelum itu, fenomena serupa telah terjadi di Inggris. Antara lain, dimotori oleh Chelsea pada 2003 dengan menggandeng Roman Abramovich yang menggelontorkan 240 juta pounds pada musim pertamanya. Dukungan dana Abramovich itulah yang kemudian mengubah Chelsea jadi kekuatan besar, bahkan sanggup menjuarai Liga Champions 2011/2012.

Pola Chelsea kemudian menginspirasi banyak tim besar lain di Inggris untuk ikut membuka diri kepada investor kakap. MU dikuasai keluarga Glazer sejak 2005, sedangkan Arsenal menggandeng Stan Kroenke pada 2007. Liverpool kemudian juga jatuh ke tangan miliarder Amerika, George Gillett dan Tom Hicks, pada 2007. Paling akhir, Manchester City jadi klub kaya baru sejak masuknya Abu Dhabi United Group Investment and Development Limited pada 2008.

Pola kemitraan dengan para investor kakap itu terbukti mampu mengubah wajah Liga Primer Inggris. Mereka tak lagi inferior terhadap Madrid, Barcelona, atau AC Milan saat memasuki bursa transfer musim panas. Rekor pembelian termahal memang masih didominasi Madrid, namun sejumlah pemain top dunia sekelas. Didier Drogba, Lukas Podolski, Robinho, hingga Luis Suarez tak lagi sungkan datang ke Inggris.



Hasilnya, tak butuh waktu lama, Liga Inggris berkembang jadi kompetisi paling atraktif sejagat. Persaingan ketatnya yang melibatkan 5-7 klub dalam perebutan gelar juara dan jatah tiket Liga Champions dari musim ke musim selalu menarik untuk diikuti. Fan base suporternya pun terus tumbuh pesat dan pada akhirnya mampu melewati popularitas klub-klub Italia dan Spanyol.

Kepingan kisah sukses itu kemudian menjadi lengkap setelah klub-klub Inggris bergantian memetik sukses pula di lapangan hijau. Liverpool menjuarai Liga Champions 2004/2005, MU kembali juara pada musim 2007/2008, lalu giliran Chelsea jadi kampiun musim 2011/2012.

Fenomena sukses Inggris mungkin belum berakhir sampai di sini. Apalagi masih ada City dan Tottenham Hotspur yang haus gelar dan punya kekuatan mesin uang sangat besar.

Hanya saja, dari sudut pandang bisnis, berinvestasi di klub-klub Inggris dipandang tak lagi menggiurkan. Potensi pasarnya bisa dibilang sudah sangat terekspos dan tereksploitasi secara optimal. Pasar Inggris sepertinya mulai mendekati titik jenuh. Hal itu, antara lain, tercermin dari besarnya antusiasme klub-klub Inggris melirik pasar baru dengan melebarkan sayap ke Asia dan Timur Jauh.

Di sisi lain, di luar sana, sederet milyuner kaya masih menanti kesempatan untuk ikut menceburkan diri dalam bisnis global ini. Tidak hanya dari negara-negara Arab, tapi juga para konglomerat baru yang bermunculan di Rusia sejak negeri itu perlahan-lahan menganut sistem ekonomi yang lebih liberal.

Maka, jadilah Prancis "padang impian" baru. Qatar Investment Authority yang memutar uang keluarga Sheik Hamad bin Jassem bin Jabr Al Thani yang konon mencapai 60 miliar dolar AS telah memulai petualangan itu. Milyuner sekaligus filantrofis Rusia, Dmitry Rybolovlev, kemudian ikut menceburkan diri dengan menguasai 66 persen saham Monaco.

Keberhasilan PSG menjuarai Ligue 1 dan nyaris menembus semifinal Liga Champions musim lalu niscaya semakin menguatkan minat para miliarder Arab dan Rusia untuk ikut "menghijaukan" rumput Liga Prancis. Jangan kaget jika klub-klub semacam Marseille, Lyon, Bordeaux, atau Montpellier jadi sasaran berikutnya.

Mungkin terlalu pagi untuk memprediksinya, namun jika fenomena ini terus berlanjut akan bagus dampaknya bagi sepakbola. Munculnya Prancis sebagai kutub baru akan memperluas persebaran kekuatan dan peta persaingan di Eropa. Persaingan pun akan lebih sengit dan idola-idola baru akan muncul. Wajah sepakbola Eropa akan berubah. | Detik



====

* Akun twitter: @MohamadKusnaeni